Air Mata Mengalir di Kali Opak
By: Khozinurrahman
Gambar-Source : |
Seorang
perempuan duduk di atas batu besar itu. Tepat di tengah kali Opak, berada lima
meter dari tempatku berdiri. Aku perhatikan punggungnya, rambut lurusnya. Aku
mengerutkan kening. Siapa gerangan di sore hari yang sepi duduk sendirian.
Kadang ada goncangan pada tubuhnya. Rintihan terdengar lirih sampai di telinga.
Aku mencoba
mendekatinya. Rintihan itu semakin jelas di telinga. Sebuah suara kepiluan yang
mendalam. Apa yang terjadi dengan perempuan malang ini. Kenapa dia memilih
mengadu pada alam. Tidak adakah orang yang mau mendengarkan curahan hatinya.
Aku terus mendekatinya, hingga berada tepat di belakangnya.
“Wahai
perempuan malang, bolehkah aku duduk di sampingmu?”
Sepontan
perempuan itu menoleh ke arahku. Belum sempat ia menghapus, ada beberapa butir
air matanya jatuh berlinangan. Air mata itu jernih, mengalir bersama air kali
Opak. Seakan ada kegundahan yang terbuang bersama aliran kali Opak. Air mata
itu tidak mau bercampur. Terus mengalir dengan sendirinya, seakan ingin
mengabarkan kepada ikan-ikan kecil tentang kepiluan hati si empunya.
Aku
tersenyum, mencoba memberikan keramahan padanya. Tapi, perempuan itu malah
memalingkan lagi wajahnya ke depan. “Silahkan duduk, batu ini bukan milikku dan
aku tidak berhak melarang orang lain duduk di atasnya. Tapi, kamu jangan merasa
risih bila aku berisik dengan tangisanku. Hatiku tidak akan tenang, bila tangis
ini belum tumpah dan mampu menjernihkan air kali Opak yang keruh.”
“Itu yang
menjadi tujuanku mendekatimu,” tuturku.
“Maksudmu?”
“Aku paling
tidak suka melihat perempuan menangis. Dan bila kamu berkenan, aku mau
membantumu menghapus air mata itu.”
“Aku rasa,
kau tidak akan sanggup!” tukasnya yang cukup mengejutkanku.
“Kau belum
tau siapa diriku, kenapa kau membuat kesimpulan seperti itu?”
“Terserah,
bagaimanapun tekadmu, kau tidak akan sanggup menghapusnya!”
Aku tidak
bisa menangkap isyarat itu, tapi aku mencoba untuk mengerti. “Baiklah, bila itu
maumu. Aku akan menjadi pendengar setiamu. Aku akan mendengarkan keluh-kesahmu.
Aku siap menjadi keranjang sampah dukamu.”
“Sekali
lagi, jangan risih mendengarkan tangisanku!”
Aku tatap
wajahnya dari samping. Begitu indah wajah sendu perempuan ini. Siapa yang
berbuat keji padanya. Hingga pipinya merona dan hidung mancungnya mengeluarkan
mimisan. Bulu mata lentiknya basah.
“Aku adalah
perempuan yang selalu berharap,” suara itu terdengar begitu serak. Pandangannya
menerawang mengikuti aliran kali Opak menari di sela kerikil-kerikil dan
batu-batu sebesar kepala serigala. “Aku terus berharap cinta itu tidak akan
pergi. Cinta yang selalu disangsikan orang-orang. Cinta yang membuatku tetap
bertahan sampai sekarang. Hanya Tuhan yang tahu, tentang cintaku yang masih
utuh sampai sekian tahun lamanya.”
Air matanya
menetes kembali. Semakin deras. Disekanya perlahan dengan kedua tangannya. “Banyak
orang mengatakan, tentang diriku dan cinta ini, merupakan suatu hal yang
konyol. Menurut mereka, akulah perempuan paling bodoh dan tolol di dunia ini.
Hanya orang tolol yang mau mempertahankan cintanya bertahun-tahun tanpa adanya
kejelasan yang pasti.”
Sebenarnya
aku ingin bertanya, tapi hanya tercekat di tenggorokan. Aku harus menghargainya
yang tidak mau diusik. Tugasku hanya mendengarkan bukan bertanya. Ya, hanya
mendengarkan. Tidak lebih.
“Sekarang
kamu boleh bertanya, lelaki baik hati!” serunya sambil menoleh ke arahku. Dia
seakan bisa menangkap kegundahanku. Tapi, tetap saja aku tidak mengerti, masih
ada senyum getir di bibirnya.
“Cinta itu
indah, dan seharusnya diabadikan,” tukasku kemudian.
“Dimana
letak keindahan itu, kalau aku sendiri tidak tahu, cinta ini akan berlabuh
kemana?”
“Ha ha ha,
kenapa kau masih mau mempertahankan cinta itu?”
Mendengar
pertanyaan itu, sepontan dia menoleh ke arahku. Matanya sembab. Dia semakin
deras mengalirkan air matanya. Ah, aku bodoh sekali, telah menertawakannya. Aku
menyesal.
“Aku minta
maaf.....”
“Tidak
apa-apa, memang sepantasnya kamu menertawakan kebodohanku.” Disekanya air mata
itu. Aku semakin serba salah mendengar kata-kata sendunya. “Aku sadar, tidak
ada seorangpun yang peduli terhadap cintaku mulai dulu. Bahkan, sampai
sekarang, semua mencemoohku.”
“Aku tidak
seperti itu, aku ingin menghapus kesedihanmu, hingga kau bisa tersenyum
kembali.”
“Jangan
munafik, sejak kapan kamu seperti itu?”
Aku
mengerutkan dahi. “Siapa kamu sebenarnya?”
Dia
tersenyum kecut. Sinis. “Ternyata benar, kata orang-orang itu, aku memang
perempuan paling bodoh di dunia ini, masih mengenang seseorang yang sudah
jelas-jelas melupakanku.”
“Maksud
kamu?”
Dia menatap
mataku lekat-lekat. Air matanya menggenang kembali, hampir tumpah. “Mata itu
tidak akan pernah aku lupakan sampai kapanpun. Mata yang selalu membuatku
sejuk.”
Disekanya
kembali air mata itu untuk kesekian kalinya. Aku memilih diam, menanti
kelanjutan kata-katanya. “Dimas, masihkah kau tidak mengenali bola mata ini?
Tidak juga dengan tahi lalat yang selalu kau sanjung dulu ini?”
Aku
terperanjat setelah memandang matanya dengan seksama. Tahi lalat di pinggir
mata kananya itu mengajakku bernostalgia pada sepuluh tahun silam. Masa kecilku
bersama perempuan mungil yang tiba-tiba menghilang. Dan kini, dia berada di
depanku.
“Kau Hani?”
“Aku masih
seperti dulu, Mas!”
“Jadi, kau
Hani kecilku?”
“Ya, tapi
kau bukan lagi Dimasku yang dulu!”
“Kenapa?”
“Aku sudah
mengenal Santi, istrimu.”
Aku
terkejut. Jadi, karena aku perempuan ini menangis. “Maafkan aku Hani, sungguh
aku tidak mengira kamu akan kembali ke desa ini!”
“Semua sudah
terlambat.”
*Yogyakarta
Air Mata Mengalir di Kali Opak
Reviewed by Unknown
on
12:56
Rating:
No comments: