KARTINI MENULIS, KARTINI ADA

By: Khozinurrahman

Gambar-source: www.fiskal.co.id

 

 

Sejarah akan terus berulang. Hal ini diartikan sebagai suatu kebangkitan kembali semangat masa lampau yang secara fisik memang telah ditelan zaman, namun dalam esensinya tetap dinamis dalam kehidupan manusia. Oleh karena inilah kita selalu dituntut untuk mempelajari dan memahami sejarah kita sendiri. Kartini sebagai simbol sejarah, merupakan bagian integral dari semangat kaum hawa, khususnya di negeri ini, dimana semangat yang lahir pada masa itu masih memantul kepada kita saat ini.

"Door Duistermis tox Licht" (Habis Gelap Terbitlah Terang), itulah judul sampul dari kumpulan surat-surat Raden Ajeng Kartini yang terkenal. Karya itu sangat berpengaruh dan menjadi inspirasi sejumlah besar tokoh perempuan kita setelah Kartini. Sebuah buku yang telah menjadi ornamen sejarah, dan karenanya, menjadi pedoman hidup dalam berbangsa dan bernegara. Kita patut bersyukur dengan kehadiran R.A. Kartini. Beliau adalah cahaya bagi kelamnya hidup kita yang selalu dirundung rasa sedih luar biasa akibat isu-isu yang rentan mengdiskreditan kaum perempuan.

Kartini dalam ketajaman pikirnya, menggugat dua persoalan penting yang membuat perempuan pada jamannya menjadi marginal. Dua persoalan tersebut adalah kultur masyarakat feodal yang juga patriarkhis, dan struktur kolonial Belanda. Melalui surat-surat pada kawan-kawannya, Kartini menyuarakan kultur dan struktur sosial yang bias gender ( Maria, Anna Wattie, 2002), yang tidak adil terhadap perempuan, dan menindas kaum Boemi Poetera secara keseluruhan.

Kemampuan Kartini dalam menganalisa bahwa adat-istiadat yang beriringan dengan kolonialisme sebagai inti masalah keterpurukan perempuan dan mengangkat pendidikan sebagai strategi perjuangannya mengangkat derajat perempuan adalah sesuatu hal yang luar biasa ( Suryochondro, 1996). Ia sebagai anak bangsawan tentu mendapatkan previledge atas kedudukannya. Namun ia tetap jernih untuk melihat fakta ketertindasan sosial di sekelilingnya, suatu kepekaan yang patut dihormati dan diteladani sampai sekarang.

Kemerdekaan merupakan ide dan gagasan yang utama dari surat-surat Kartini. Hal yang dianggapnya mampu membebaskan kaumnya dari ketertindasan feodal dan kolonial waktu itu. Karyanya terebut di atas, menyiratkan betapa ide-ide kebebasan yang direnungkan oleh Kartini bagi kaum perempuan sebangsanya, sangatlah berharga dalam arti yang lebih luas.

 

Dunia Menulis

Berangkat dari menulis, R. A. Kartini kita kenal sampai sekarang. Tak dapat kita bayangkan bagaimana jika Kartini tidak pernah menulis? Apakah ia akan kekal dalam sejarah kita? Sisi-sisi menarik dari sosok Kartini sendiri, karena itu, adalah kemampuannya dalam menulis.

Menulis pada masa itu adalah domain bagi kalangan laki-laki dan kaum bangsawan secara umum. Sementara itu substansi tulisan (surat) Kartini adalah protes, bukan sebuah permakluman dan sikap pasrah pada suatu keadaan. Maka makna tulisan seorang Kartini, melampau garis demarkasi peradaban zamannya.

Hanya perempuan yang memiliki keberanian yang dapat mengatakan kata hati dan pikirannya kepada masyarakat umum kala itu. Oleh karenanya, politik tulisan kaum perempuan kiranya adalah ia yang pertama memulai. Dan ini merupakan sumbangan luar biasa dalam gejala karya-karya feminis untuk masa selanjutnya di negeri kita ini.

Karta tulisan adalah sesuatu yang sangat penting untuk kita ketahui. Manusia bisa mati, kata sebagian orang, tetapi sepanjang karyanya itu masih ada dan utuh, kematiannya menjadi sesuatu yang lain. Sang penulis mati secara fisik, tetapi hidup secara esensi dalam diri setiap setiap orang. Manusia bisa mati, tapi tulisan tidak akan pernah mati. “Aku Menulis, Maka Aku Ada,” demikian kata budayawan Zainal Arifin Thoha (Kutub, 2005).

Kemampuan menulis itulah yang menjadi kekuatan bagi Kartini, yang secara objektif harus diakui sebagai kelebihan yang tidak banyak dimiliki oleh pejuang perempuan lainnya seperti Tjut Nya’ Dien, Dewi Sartika, dll. Bahkan lebih jauh dari itu, menulis adalah sebuah babak baru perlawanan Kartini terhadap penindasan kolonial, setelah sebelumnya perlawanan dilakukan melalui perjuangan fisik. Babak baru yang dibawa kartini tidak bervisi kemerdekaan yang hanya didengungkan kepada kaum di negerinya, tetapi juga kepada kalangan secara luas, baik masyarakat negeri penjajahnya (baca: Belanda) maupun negeri-negeri lainnya. Inilah faktor yang sering dikatakan bahwa tulisan bercakupan global.

Pada fase perlawanan berikutnya kita akan melihat bagaimana tulisan terutama melalui surat kabar, seperti koran, majalah dan media massa yang lain menjadi alat propaganda yang luar biasa, terutama bagi kaum perempuan. Media dalam konteks umum kemudian menjadi cara dalam membangun kesadaran massa, sekaligus memobilisasi massa untuk melakukan tindakan melawan penindasan terhadap perempuan.

Sungguh sangat luar biasa, tulisan menjadi senjata ampuh dalam melakukan perlawanan. Tulisan adalah kata yang “abadi”, sekaligus fatwa bagi orang yang miskin akan ilmu pengetahun. Melalui tulisan itu, Kartini melontarkan gugatannya akan kecamuk dalam sistem sosial yang berlangsung saat itu. Ia mengantarkan kesadaran kebangsaaan dan kemerdekaan dari kungkungan struktur feodal dan kolonial itu bagi kaumnya melalui tulisan.

Karya Kartini itu telah menginspirasi masyarakat hawa kita, jauh melampaui batas ruang dan waktu. Karya itu juga mengantarkan kesadaran untuk melampaui realitas jaman. Jasat Kartini boleh mati, namun ide dan gagasannya yang tertuang dalam karnyanya sangat berpengaruh besar dalam kemajuan wanita Indonesia di kemudian hari, karena isi tulisan tersebut menjadi motivasi perjuangan bagi kaum wanita kita sampai saat sekarang. Seperti pernyataan Jaleswari Pramodhawardani, aktivis gerakan perempuan, Kartini boleh menghilang ditengah-tengah kita, namun spirit dan perjuangannya masih tetap hidup dan mewarnai gerakan perempuan Indonesia. (Gatra, April 2004)