Pernikahan Munah

By: Khozinurrahman
 
Gambar- Source : www.jualspreimurah.net

Malam mencapai puncaknya. Munah tetap berdiri dekat jendela menatap sawah yang riuh dengan kodok. Bulir-bulir jernih di pipinya seperti rintik-rintik hujan yang terus menetes dari dedaunan. Bibirnya gemetaran. Doa-doa dan istighfar mengalir sederas air matanya.
Ia lalu menggenggam kuat-kuat ujung tongkatnya. Tubuhnya yang goyah melangkah ke tempat tidur. Alquran yang dibacanya basah, ia ciumi lekat-lekat. Lalu sedikit demi sedikit, sambil menyeret pelan-pelan kaki kanannya yang pincang, ia meletakkan alquran dalam lemari pakaiannya.
Ia semakin tidak dapat tidur teringat ucapan nyonya Mei. Semenjak kematian Iyem tiga tahun yang silam, dan disusul Rojati dua bulan kemudian, Munah melayani keluarga tuan Ceng seperti melayani kedua orang tuanya. Tuan Ceng dan nyonya Mei pun meminta Munah menganggap rumahnya seperti rumah sendiri menggantikan ayah ibunya.
Besok pagi di keluarga tuan Ceng segera diadakan pesta perkawinan. Pada umurnya yang ke-dua puluh tujuh, Munah akan melangsungkan pernikahan dengan majikannya sendiri. Sementara tuan Ceng dan nyonya Mei hingga umur tujuh puluh-an, belum memiliki keturunan. Dokter memprediksi bahwa rahim nyonya Mei sudah tidak memungkinkan lagi menampung janin. Demi seorang anak, nyonya Mei meminta tuan Ceng bersedia menikah dengan Munah, seorang muslimah.
Munah duduk di kasurnya sambil meremas-remas bantal. Lalu dia melempar bantal itu ke cermin dan memukuli kasur keras-keras. Pipi dan mukenanya basah kuyup. Dia tidak tahu apakah harus tersenyum dan tertawa di malam itu, ataukah dia harus menjerit walau sekedar dalam hati. Ia pun memilih tersenyum lebar sekali. Tuan Ceng yang sering membuat hati Munah berbunga-bunga berada di dekatnya, tuan Ceng yang sering diintip Munah dari jendela kamar saat nonton Teve bersama nyonya Mei, dan tuan Ceng yang selalu melebur dalam bait-bait doa malamnya, besok pagi ia akan duduk bersama dirinya di pelaminan.
Namun tak lama kemudian senyum itu terkubur dalam layu muka Munah. Matanya yang gerimis menatap tajam pada sosok dalam cermin. Perempuan berkulit hitam legam dan berbibir tebal. Sementara pipi kirinya yang belang tertutupi jilbab. Munah pun mengalihkan pandangannya pada kaki perempuan dalam cermin itu. Kakinya yang pincang. Panjangnya separuh dari panjang kaki kiri. Dan hanya tinggal tiga jari di kaki itu.
Seperti gemuruh guntur dan kilatan halilintar yang menyambar-nyambar. Munah tidak percaya dan diliputi rasa malu. Perempuan dalam cermin itu akan bersuamikan tuan Ceng. Orang dermawan beretnis Cina yang penuh kasih itu. Dan juga Munah dihantui olok-olok orang sekampung. Fisik dan etnis Munah selalu diperbanding-bandingkan dengan tuan Ceng. Seperti dedaunan yang dihempas-hempaskan angin kencang, seperti itulah perasaan Munah mengingat semua itu.

***

"Munah! Munah!"
"Ya, tuan."
Segera Munah menyambar tongkatnya dan berjalan pelan mendekati pintu kamar. Suara tuan Ceng Ho di depan kamarnya, terdengar agak keras tidak seperti biasa, membuat Munah bertanya-tanya.
"Ada apa tuan."
"Apa yang terjadi padamu, Munah. Aku mendengar suara tangis dari dalam kamarmu. Aku khawatir terjadi sesuatu padamu."
"Oh tidak, tuan. Aku baik-baik saja."
Tuan Ceng percaya pada Munah lalu meninggalkannya sendiri berdiri di dekat pintu. Ia terus pergi menuju kamar kecil yang tak jauh di sebelah kanan kamar Munah. Sementara Munah segera menutup daun pintu dan kembali ke tempat tidurnya dengan langkah kaki yang diseret.
Sekembalinya dari kamar kecil tuan Ceng bercerita pada nyonya Mei perihal apa yang didengarnya di depan kamar Munah. Raut muka nyonya Mei kusam seketika. Nafas tuanya terengah-engah seperti dikejar setan. Ia memegangi kepalanya yang beruban sambil menggeleng-geleng kencang.
"Tidak! Tidak, pa! ini kesalahan mama!" Nyonya Mei berteriak kenacang sambil memukuli dadanya sendiri.
"Sudah, sudahlah, Ma!" Tuan Ceng menghentikan tangan nyonya Mei.
"Tidak, Pa. Ini kesalahan mama. Mama tidak ingin Munah membenci kita. Mama telah melakukan kesalahan besar terhadap Munah"
"Tapi mama ingin punya anak, Pa." Suara serak nyonya Mei kian menjadi-jadi.
"Kalau begitu, kita gagalkan saja pernikahan papa dengan Munah. Besok pagi kita akan mengabarkannya pada Munah."
"Tidak, Pa. jangan! Ini lebih menyakitkan buat Munah. Undangan sudah kita sebarkan. Orang-orang kampung sudah banyak yang tahu."
"Tapi perasaan Munah akan tersakiti, Ma. Papa tidak pantas menikahinya."
"Tidak, Pa. Munah akan merasa kita hina di hadapan orang banyak jika kita gagalkan pernikahan ini. Orang kampung pun akan bangga dengan olok-olok mereka terhadap Munah selama ini."
"Ok, Ma. Sebaiknya kita sekarang ke kamar Munah saja."
Tuan Ceng dan nyonya Mei menuruni tangga menuju kamar Munah. Mereka berjalan dengan amat pelan agar langkah kakinya tidak terdengar oleh Munah. Suara isak tangis dari kamar Munah semakin menjadi-jadi. Lampu tiba-tiba padam. Ruang bawah itu menjadi gelap gulita. Hanya kilatan cahaya petir yang menyelinap lewat jendela kayu rumah tua itu yang menerangi ruangan. Sebuah rumah peninggalan etnis cina yang konon di masa kolonial Belanda dahulu sebagai saudagar sekaligus tuan tanah, dan kini satu dua dari keturunan mereka hidup rukun layaknya orang pribumi.
Dari luar pintu suara tangis terdengar menyaingi dentuman guntur dan gemuruh hujan. Munah tetap tidak berhenti menangis. Wajahnya ia tutupi dengan bantal. Berbolak-balik tubuhnya di atas kasur.
"Ya Allah, ampuni hambamu. Mengapa aku harus mencintaimu melalui kebencian. Mengapa aku harus bersyukur atas nikmatmu malalui kufur akan dirimu."
"Ya Allah. Mengapa Engkau hadirkan cinta dalam hati ini. Mengapa Engkau hadirkan tuan Ceng dalam hidup hambamu ini."
"Ya Allah. Mengapa Engkau tidak hadirkan saja orang lain yang juga mengimani keasaanmu. Meyakini Muhammadmu. Tapi adakah orang yang akan menerimaku apa adanya seperti tuan Ceng. Adakah orang yang mencintaiku dengan kondisiku yang seperti ini. Adakah orang yang mencintai perempuan cacat sepertiku ini, ya Allah."
"Ya Allah. Aku tidak menyesal ditakdirkan memiliki kecacatan fisik. Tapi aku sangat menyesal Engkau beri aku kesempatan mendengar ada lelaki yang menyukaiku, mencintaiku, bahkan besok pagi akan menikahiku. Sehingga kini aku pun jatuh cinta. Sehingga kini aku ingin terus-menerus bersyukur padamu, pada nikmatmu yang terbesar itu, ya Allah."
Munah mengusap air matanya. Dia mencoba lagi mengingat pesan-pesan kiai di teve dan di langgar-langgar. Dia pun masih merekam kuat ucapan orang-orang kampung. Seorang muslimah tidak boleh menikah dengan bukan muslim. Suami seorang muslimah yang taat harus orang muslim juga. Dan juga, orang cacat menikah dengan hartawan, kalau bukan lantaran jampi-jampi dan sihir lalu apa lagi? Kata orang kampung. Tiba-tiba Munah berhenti menangis dalam doanya. Ia mendengar ada suara yang mendekat.
"Siapa di luar!"
Suara Munah agak tinggi.
"Kami, Munah. Tolong buka pintunya."
Perasaan Munah menjadi lega. Ia kembali mengambil tongkatnya dan melangkah mendekati pintu. Jalannya terseok-seok, pelan sekali.
"Tunggu, tuan, nyonya. Lampunya padam."
Munah membuka laci lalu mengeluarkan dua batang lilin dan menyalakannya.
"Silahkan masuk, tuan."
Tuan Ceng dan nyonya Mei duduk di tempat tidur Munah. Sementara Munah duduk di kursi dekat kasur itu.
"Ada perlu apa tuan dan nyonya sama saya malam-malam begini," Munah memulai.
"Munah, sebenarnya kami tidak enak mengatakannya," nyonya Mei membalas.
"Menurut kamu mana yang lebih baik antara digagalkan atau dilanjutkan saja pernikahan kamu dengan tuan Ceng besok pagi?"
Munah terperanjat mendengar pertanyaan nyonya Mei itu. Bibirnya gugup untuk menjawabnya. Dia membisu seribu bahasa. Samar-samar dalam cahaya remang-remang lilin tuan Ceng dan nyonya Mei melihat raut muka Munah. Ada sesuatu yang mereka pahami.
"Kami paham, Munah, tentang agamamu," ujar nyonya Mei.
"Munah, kami tidak memaksamu," sambung tuan Ceng.
Perasaan Munah semakin tidak karuan. Ucapan terakhir dari tuan Ceng seperti kilat menyambar ulu hatinya. Gemuruh guntur dan deras hujan seakan-akan menggema di dalam dadanya. Bibirnya kian gemetar kuat seperti orang yang kehujanan dan dingin menggigil.
"Tuan, nyonya…" Munah mulai angkat suara. "Saya..."
"Oh ya Munah," potong nyonya Mei. "Kami tidak membutuhkan jawabanmu sekarang. Kami hanya membutuhkan kejujuranmu dan keputusanmu yang benar-benar matang."
"Munah," sambung tuan Ceng. "Ingat ya. Kami tidak ingin hidupmu tersiksa. Kami telah merasa bersalah terlanjur memintamu yang bukan-bukan. Sekali lagi kami tidak ingin menyakitimu. Kamu telah kami anggap sebagai anak sendiri, bukan pembantu."
"Munah, kami mencintai kedua orang tuamu. Juga kau," ujar nyonya Mei.
"Mama, ayo kita keluar. Biarkan Munah istirahat sendiri." Tuang Ceng mengajak istrinya.
"Munah kami mencintaimu. Kami setuju apa yang terbaik menurutmu," serentak tuan Ceng dan nyonya Mei berujar di luar kamar.
Munah terpaku sendiri melihat tuan Ceng dan nyonya Mei meninggalkan dirinya. Tidak sepatah kata pun terlontar dari bibirnya yang tebal dan hitam legam itu. Perempuan yang semasa kecilnya sering diejek dan dijelek-jelekkan oleh teman sepermainnya itu, kembali mengusap air matanya yang tiba-tiba menetes. Menetes dan menetes. Hujan di dalam kamar semakin deras sementara hujan di luar telah reda.
"Allahu Akbar...Allahu Akbar..."
Adzan subuh dikumandangkan. Kokok ayam melantun merdu menyambut kedatangan sang pagi. Munah telah bersiap-siap untuk solat subuh sambil duduk.

*****

Pernikahan Munah Pernikahan Munah Reviewed by Unknown on 10:12 Rating: 5

No comments:

ads
Powered by Blogger.